Hari demi hari
telah kulalui. Suasana-suasana baru semakin hari semakin banyak kutemui. Terasa
dalam diri ada sedikt perubahan. Entah perubahan seperti apa, aku sendiri tidak
bisa merasionalkan lewat untaian kata. Mungin karena itu penharuh dunia baru
yang saat ini aku geluti. Yah,, dunia kampus. Itulah dunia baru yag saya geluti
hari ini. Dunia pergumulan intelektual dalam pencarian jati diri. Dunia yang
memberikan banyak pencerahan untuk lembar hidup baru, dunia yang melahirkan
sejuta intelektual sejati. Dan dunia ini pulalah yang terkadang melahirkan
intelektual penjilat lidah. Mungkin satu diantara sekian banyak alasan diatas
kenapa hari ini aku memutuskan untuk masuk dalan lingkaran dunia baru ini. Tapi tidak untuk menjadi intelek
penjilat lidah.
Tak terasa waktu
begitu cepat berlalu. Masih terngiang dalam benak saya sebuah pesan yang
disampaikan ibu saya tercinta, ketika saya hendak meninggalkan kampung halaman
menuju perantauan kota daeng. Kota tempat untuk memperbaiki nasib demi hari
esok yang lebih baik. Itulah kota Makassar, kota Angin Mammiri.
Pesan yang
disampaikan oleh ibunda saya kurang lebih seperti ini redaksinya. “Anakku, jika
engkau ada dinegeri orang senantiasalah berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat,
dan senantiasalah belajar dengan baik agar kelak engkau menjadi orang yang
berilmu”.
Begitulah pesan
yang diucapkan oleh ibuku kepada saya ketika hendak melepas kepergianku.
Maafkan ananda ibu jika pesan itu tidak terlaksana. Mungkin itu pengaruh
hiruk-pikuk kehidupan dikota Makassar ini, kota metropolitan.
Aku mengangguk
tanda aku mengerti pesannya sembari memeluknya. Dalam dekapannya, ibuku kembali
berbisik, “Anakku, tidak apa-apa jika menjadi topik pembicaraan orang lain
dalam hal kemiskinan, tetapi akan lebih baik jika engkau dibicarakan oleh orang
karena ilmumu dan kesuksesanmu kelak”.
Sebuah pesan yang
sangat sederhana, namum memberikan sedikit beban kepada saya dan tekanan
psikologis dalam melewati masa-masa dibangku
kuliah. Selalu teringat pesan ibuku bahwa aku harus menuntut ilmu dengan baik
dikampus.
Keresahan itu
menghinggapi hari-hari saya dikampus, karena aku merasa kuliah itu tidak jauh
beda dengan belajar disekolah. Materi perkulaihanpun sering kudapatkan
disekolahku dulu.
Didalam kelas,
setiap ada diskusi aku mengambil tempat yang paling sudut. Itu karena aku
mengamati teman-temanku yang lihai dalam menyampikan ide dan gagasan-gagasan.
Kepandaiannya berbicara dalam forum diskusi membuatku bertanya dalah hati,
“Kenapa mereka bisa sepintar itu bicara? Apakah karena mereka ikut
organisasi?”.
Seorang teman
kelasku yang pandai berbicara dalam forum disela-sela waktunya aku bertanya
kepadanya. “ Sobat, apa yang membuat anda sehingga bisa sehebat itu berbicara
dalam forum?”. Dengan nada datar dia menjawab, “itu karena HmI”. Dan aku
bertanya lagi “Apa itu HmI?”. Dengan semangat dia menjawab “HmI itu adalah Singkatan dari
Himpunan mahasiswa Islam,sebuah organisasi yang terbesar dan tertua dinegeri
ini. Organisasi ini sebagai wadah untuk berproses. HmI telah menempa saya untuk lebih giat belajar, beramal dan berilmu
demi menjadi insane cita yang berkarakter” paparnya.
Dari jawabannya itu
membuat hati saya tergetar untuk bergabung di Organisasi warisan Lafran Pane
tersebut. Akhirnya setelah saya pikir bahwa HmI akan memberikan ruang bagi para
kader –kadernya untuk mengeksplorasi potensinya, maka saya putuskan untul ikut
LK I (Basic training) HmI, tepatnya di Benteng somba Opu.
Bersama rekan-rekan
yang lain, ketika hymne HmI dikumandangkan, hati saya kembali bergetar. Sambil
tertunduk, aku menghayati bait demi bait hymne HmI tersebut. Aku berbisik dalam
hati, “Betapa mulia cita-cita perjuanganmu, semoga aku termasuk kader yang
insan cita untuk mewujudkan misi sucimu ini, Wahai ayahanda Lafran Pane”.
Aku meniknati
pengkaderan itu dan menyimak dengan baik materi yang disampaikan oleh
senior-senior kami. Dan sungguh materi itu belum pernah kami dapatkan
sebelumnya. Tepat pada materi dialog kebenaran, aku sempat berpikir “Akh, ini
senior sudah gila mungkin”. Karena ia memaki-maki tuhanku dan ingin membakar
Al-Quran. Dan beberapa peserta juga sempat naik pitam.
Dan ternyata, pada
materi itu kita (peserta basic) dipancing untuk lebih falsafat dan
mengeksplorasi kemampuan berpikir kita untuk mengadakan pembelaan terhadap
cacian yang dialamatkan kepada tuhanku oleh senior kami.
“Terima kasih HmI,
engkau telah membuka cakrawala berpikir saya”, tuturku dalam hati.
Selama ditempat pengkaderan, aku punya banyak teman baru dan ilmu yang
tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. Setelah dikukuhkan sebagai kader HmI, terbersit
dalam ingatan akan sebuah pesan yang pernah disampaikna oleh ibuku.
“Ibu, mungkin dengan
HmI, aku bisa mewujudkan secuil harapan yang engkau sematkan dalam dadaku,
menjadi orang berilmu” desahku lirih.
Menjadi kader HmI
adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi
saya. Karena di HmI aku diajari banyak hal yang tidak pernah aku dapatkan
dibangku perkuliahan. Di organisasi warisan Lafran Pane ini, aku diperkenalkan
dengan budaya membaca. Hingga akhirnya aku mampu menyatakan diri, minimalnya
aku punya keberanian untuk mengungkapkan ide dan gagasan dalam forum diskusi
dikelas, walaupun aku tahu kepintaran itu relatif.
Krisis identitas yang pernah melanda diri saya sebelum
bergabung di HmI sekarang sudah bisa saya retas. Sekalipun tidak banyak yang
bisa saya lakukan untuk HmI, tetapi saya tetap bangga menjadi bagian dari
organisasi warisan Lafran Pane tersebut.
“Terima kasih HmI,
engkau telah memberikanku jalan untuk mewujudkan harapan ibuku. Ditanah gersang
tempatku berpijak ini, akan kutancapkan benderamu dan kuukir namamu sepanjang
hidup ini. Ibu restui aku bersma HmI”. Itulah harapan terkecilku menjadi kader
lafran Pane.